Si Paling Konsumtif di Era Pembayaran Digital

Bandar Lampung (Lampost.co): Khansa Ranbia, mahasiswi tingkat akhir di Universitas Lampung berjalan ke sana kemari ketika paket yang ia beli dari salah satu toko online langganannya hampir tiba.
Khansa tahu sebab notifikasi ponselnya menujukkan jika paket akan diantar ke rumahnya. Ekspresi wajahnya mulai senang karena lipstick yang ia beli kan tiba.
Sebelum pembayaran digital menjadi tren seperti sekarang, Khansa mengaku memang sudah sering berbelanja secara online. Mulai dari baju, tas, perias wajah, dan keperluan lainnya lebih sering ia beli melalui kanal aplikasi toko online.
Namun, munculnya pembayaran digital terutama di Lampung bak anak muda terpapar heroin. Candu dan membuatnya semakin sering berbelanja.
“Karena kan segampang itu ya tinggal pencet-pencet, check out terus sampai rumah," katanya saat diwawancarai di kediamannya yang berlokasi di Bandar Lampung, Senin, 2 Januari 2023.
Kakinya tidak perlu beranjak dari kasur kesayangannya untuk membeli barang yang ia inginkan. Hanya perlu tangannya bergerak sembari merebahkan badan di kasur. Barang yang ia cari pun akan segera datang diantarkan.
Tak perlu waktu lama bagi Khansa untuk menentukan barang yang akan dia beli. Selagi ada uang di dompet digital, barang yang membuatnya tertarik akan langsung ia beli. Meskipun sebenarnya barang yang dibeli kadang tidak selalu ia perlukan.
“Kalau gabut kan biasanya scroll-scroll terus ketemu kok ada yang lucu jadi ya check out,” katanya.
Dalam sepekan, Khansa bisa melakukan transaksi sebanyak 3-4 kali di aplikasi belanja online, yang semuanya dibayar melalui pembayaran digital. Hingga dalam satu bulan ia bisa menghabiskan rata-rata Rp300 ribu hingga Rp2 juta hanya untuk berbelanja online.
Menurut Khansa, membeli barang secara online jauh lebih mudah. Terlebih untuk Khansa yang memang malas keluar rumah, berbelanja secara online bisa menjadi solusi dalam memenuhi kebutuhannya.
Saking malasnya kala itu, Khansa pernah membeli kapas dan tisu secara online. Padahal kedua barang tersebut bisa ia dapat di warung dekat rumahnya yang hanya berjarak selemparan batu. Namun karena malas keluar, ia lebih memilih belanja secara online meski harus menunggu beberapa hari.
“Aku tercandu-candu belanja online,” kelakar Khansa dengan tertawa.
Sebagai mahasiswa Khansa sadar, kemudahan yang didapat dalam transaksi digital membawa dampak pada dirinya yang semakin boros dalam berbelanja. Ia pun merasa lebih impulsif untuk berbelanja sesuatu semenjak menggunakan transaksi digital, ia kurang bisa mengontrol diri.
Apalagi saat melihat tampilan gambar di aplikasi yang terkesan lebih menarik dan bagus membuat dirinya semakin tergoda untuk membeli. Bahkan Khansa mengaku pernah melakukan transaksi digital hingga puluhan juta.
“Aku pernah beli photo card idol Korea sampai 13 juta itu aku pakai Shopee Pay," ucapnya.
Itu menjadi transaksi terbesarnya menggunakan pembayaran digital kala itu. Namun tak berselang lama sebagian besar dari photo card tersebut akhirnya dijual. Hanya menyisakan beberapa saja untuk dikoleksi.
Sampai saat ini dia masih membeli photo card namun dalam jumlah yang lebih kecil. “Kalau yang sekarang-sekarang ini paling photo card semua paling Rp1-2 jutaan paling mahal yang punyaku," katanya.
Perilaku seperti ini tidak hanya dialami oleh Khansa. Mudahnya transaksi pembayaran secara digital membuat banyak penggunanya kalap mata. Ananda Tiara Putri, mahasiswi Universitas Darmajaya mengaku juga kerap menggunakan pembayaran digital untuk belanja.
Sambil memegang ponselnya Tiara bercerita, dia bisa menghabiskan banyak waktu luangnya hanya untuk melihat barang-barang yang ada di e-commerce. Baju, aksesoris, dan skincare menjadi barang yang paling sering ia beli. Di luar itu jika ada barang yang membuatnya tertarik, ia juga tak ragu untuk membeli barang tersebut.
Terlebih jika dia sedang memiliki uang digital yang cukup. Terhitung transaksinya dalam satu bulan bisa mencapai 16 kali bahkan lebih. Artinya dalam satu minggu ia bisa belanja online 3-4 kali.
Tiara belum lama menggunakan pembayaran digital, ia baru menggunakannya pertengahan tahun 2022. Sebelum menggunakan pembayaran digital, dia biasa menggunakan fitur bayar di tempat atau cash on celivery (COD). Namun karena dirasa lebih mudah, dia pun beralih ke pembayaran digital hingga saat ini.
Tiara mengakui setelah menggunakan pembayaran digital membuatnya menjadi lebih boros. Dengan menggunakan pembayaran digital mempermudah ia untuk membeli berbagai macam barang tanpa harus takut kurang uang.
“Kalau e-money itu kita bakal ngeluarin uang terus-menerus dalam waktu yang tidak ditentukan. Karena mudah itu tadi," katanya. Alhasil pengeluarannya pun meningkat.
Dalam satu bulan dia bisa menghabiskan uang mulai dari enam ratus hingga Rp1 juta hanya untuk belanja online. Ini belum termasuk pemesanan makanan dan minuman secara online yang juga menggunakan pembayaran digital. Sebenarnya transaksi belanja online ini lebih besar jumlahnya dari kebutuhan makan dan minumnya.
Sebagai anak indekos, Tiara lebih memilih untuk memasak sendiri ketimbang membeli di luar.
Meski begitu bagi Tiara terdapat sensasi tersendiri ketika berbelanja online. Dia merasa senang dan sampai menunggu-nunggu datangnya barang yang ia pesan.
“Kadang tuh paket sedang menuju ke alamat lokasi itu udah nunggu-nungguin banget dari pagi sampe sore nungguin bener. Pokoknya seneng," ucapnya.
Mudah dan praktisnya transaksi online ternyata membuat Tiara menjadi malas untuk berbelanja secara langsung. Saking gilanya belanja online, Tiara sampai pernah membeli kulkas secara online untuk mengisi indekosnya.
Ini bahkan membuat teman-temannya sampai geleng-geleng kepala kala itu. “Dari pada kalau belanja langsung kan kita harus antre trus kadang belanja langsung itu lebih mahal, jadi lebih suka belanja online," katanya.
Menarik Diri dari Warung Konvensional
Tak jauh tabiatnya dengan Tiara dan Khansa, Aprilia yang merupakan mahasiswi Politeknik Negeri Lampung (Polinela) juga merasakan sensasi yang sama. Transaksi digital memang terobosan paling menarik baginya. Lagi-lagi karena mudah dan praktis. Melalui pembayaran digital ia tak perlu repot belanja secara langsung. Apalagi ketika kegiatan di kampus sedang padat-padatnya.
“Sebenarnya kalau belanja online itu harus nunggu ya, enggak langsung sampai. Tapi kalau langsung (belanja) enggak ada waktu,” jelasnya.
April memang biasa berbelanja secara online, bahkan untuk keperluan pribadi seperti pakaian, skincare, sepatu, aksesoris dan kebutuhan lainnya. Sambil tertawa kecil, April bercerita pernah membeli sabun cuci dengan harga sepuluh ribu melalui Shopee.
Ternyata hingga saat ini ia masih sering melakukannya meski sabun tersebut sebenarnya ada di warung konvensional dengan harga yang sama. Padahal jarak kos April dengan warung hanya 100 meter.
“Kalau mau beli offline jadi capek buat jalan ke tokonya, karena kegiatan kampus banyak," jelasnya.
Gadis berkacamata ini secara kuantitas memiliki transaksi lebih kecil dari Tiara dan Khansa. Dalam sebulan transaksinya tak lebih dari tujuh kali. Pengeluaran perbulannya untuk belanja online pun tiga hingga Rp500 ribu.
Namun, untuk uang sakunya per bulan yang berada di kisaran Rp700 hinga Rp800 ribu pengeluaran itu sudah cukup besar. Terlebih April adalah anak rantau, yang juga indekos di Bandar Lampung.
Tak bisa dipungkiri kata April, pembayaran digital jadi salah satu pemicu ia jadi lebih boros. “Kadang suka khilaf, beli diluar rencana. Kok bagus ya barang ini, trus ada uangnya jadi (beli)," ungkapnya.
Bertemu di tempat terpisah, Masaini yang merupakan orang tua dari Tiara menyinggung soal biaya hidup anak sekarang yang cukup besar. Menurutnya, ini terlampau beda dengan zamannya kuliah.
“Kalau anak sekarang lebih boros ya. Apa aja dibeli," katanya.
Masaini mengaku memberikan uang saku anaknya sekitar satu juta dalam sebulan. Namun kadang belum genap satu bulan, Tiara sudah meminta dikirimkan uang lagi.
“Ya buat macem-macem kebutuhan pribadi, kuliah atau lainnya”, katanya. Kadang jika sudah terlalu boros, ia pun menyetop dan menasihati anaknya tersebut agar tidak sering berbelanja yang tidak penting.
Seperti Dendam Puas Harus Dibayar Tuntas
Fenomena konsumtif dari ketiga mahasiswa di Lampung itu sudah dicerminkan sejak lama oleh nenek moyang kita. Tidak ada manusia di muka bumi ini tidak ada kebutuhan masing-masing.
Sosiolog Universitas Lampung, Bartoven Vivit menjelaskan kebutuhan dasar manusia seperti sandang, pangan, dan papan akan terpenuhi bagaimanapun caranya.
“Kalau orang zaman dahulu itu, atau kalau dia tidak bisa mencari sendiri kemudian dia mencoba untuk bertukar atau barter,” katanya saat diwawancarai langsung, Rabu, 11 Januari 2023.
Akan tetapi menurut Vivit, zaman semakin berubah dan perubahan sosial budaya yang besar ini membuat manusia menginginkan sesuatu saat ini, bukan atas kebutuhan saja tapi atas dasar keinginan dan kepuasan yang harus ditebus segera. Keinginan ini acapkali hanya sebagai hasrat, gengsi atau sering kali hanya tidak ingin tergerus zaman.
“Konteksnya bisa jadi karena gaya hidup, pengaruh lingkungan, pengaruh pertemanan, apalagi sekarang ada teknologi media sosial. Atau mungkin dia mau buat konten atau dia mau pamer atau memperlihatkan ini lo saya hidup sekarang kan ibarat dari satu topeng ke topeng lain di media sosial,” jelasnya.
Pengaruh-pengaruh yang disebutkan Vivit itu membuat masyarakat memenuhi keinginannya berkorelasi gaya hidup yang konsumtif. Ia memberi studi kasus misal individu masuk dalam satu kelompok yang memiliki gaya hidup mentereng, bermandikan emas, dan bersayapkan uang kertas, individu tersebut secara perlahan akan mengikuti gaya hidup kelompok tersebut.
“Akhirnya kita menjadi boros, menginginkan hal-hal yang bukan dasar itu namanya gaya hidup, termasuk prestise,” ujarnya.
Vivit menerangkan ada yang dipertaruhkan dalam kehidupan serba konsumtif dan modern zaman ini, yakni status sosial. Gaya hidup mentereng, prestise dan juga gengsi itu dalam nilai sosial mendorong individu kemudian menjadi konsumtif.
“Misalnya berbelanja atau perilaku konsumtif yang berlebihan tidak berdasar kebutuhan . jadi lebih dari kemampuan. Kadang lebih besar pasak daripada tiang, karena ada yang status yang ia ingin dapatkan, status bahwa dia sudah menjadi bagian dari suatu kelompok yang membuatnya merasa lebih tinggi dibanding yang lain,” tuturnya.
Ia menambahkan perilaku konsumtif memang membuat orang candu dan tergila-gila, apapun akan dilakukan untuk mendapat apa yang mereka inginkan. Ada orang yang bener-benr sudah tergila-gila apapun dilakukan. Karena setelah mendapatkan sesuatu yang individu inginkan, bakal ada rasa kepuasan secara pribadi dan sosial.
“Jadi kepuasan orang tidak hanya puas membeli hal-hal yang dibutuhkan, tapi ada rasa merasa percaya diri, harga dirinya menajdi naik dan merasa keren. Tidak perduli lagi dan mengabaikan bahwa ini substansi atau tidak, ini kebutuhan atau tidak. Nah itu berlaku secara sosiologis,” ungkap Vivit.
Keniscayaan yang Tak Terhindarkan
Digitalisasi adalah suatu keniscayaan. Hal itu dikatakan oleh Kepala Tim Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Lampung, Arry Priyanto. Baginya kebutuhan masyarakat akan metode pembayaran digital yang serba dalam satu genggaman, cepat, aman, dan murah harus dapat difasilitasi. Hal ini tentunya membutuhkan dukungan dari infrastruktur sistem pembayaran yang diarahkan pada infrastruktur yang lebih modern, efisien, dan aman dengan memanfaatkan teknologi terkini.
“Untuk itu, Bank Indonesia telah mencanangkan blueprint sistem pembayaran Indonesia 2025, pada tahun 2019 dalam rangka menavigasi sistem pembayaran nasional di era digital. Hal inilah yang kemudian berperan strategis sebagai pondasi dalam menjawab tantangan yang muncul di saat pandemi Covid-19 untuk menghadirkan cara-cara pembayaran yang inovatif dalam memitigasi penyebarannya,” kata Arry dalam keterangan tertulisnya yang diterima Lampost.co, Selasa, 10 Januari 2023.
Arry menambahkan kehadiran pembayaran digital tentunya membawa perubahan perilaku transaksi agen-agen ekonomi, seiring dengan berbagai dampak positif yang dihadirkannya, terutama efisiensi dalam bertransaksi, menjadi lebih cepat, mudah, murah, dan aman.
“Kami membuat program-program kampanye terintegrasi guna membangun awareness masyarakat secara paripurna mengenai produk dan layanan keuangan digital, termasuk risiko-risiko yang melekat. Sebagai contoh, Bank Indonesia terus mengkampanyekan Cinta Bangga Rupiah yang mengusung perlunya masyarakat untuk bijak dalam bertransaksi, berbelanja, dan berhemat sehingga berdampak positif pada inflasi, investasi, dan pertumbuhan ekonomi,” ungkapnya.
Pertumbuhan Pembayaran Digital di Lampung
Sejalan dengan meningkatnya aktivitas perekonomian Provinsi Lampung, data dari Statistik Sistem Pembayaran dan Infrastruktur Pasar Keuangan Provinsi Lampung 2022, transaksi dengan Alat Pembayaran Menggunakan Kartu (APMK) Provinsi Lampung mengalami perkembangan dengan pertumbuhan nominal transaksi kartu ATM/Debit sebesar 33,79% year over year (yoy) . Dan pada triwulan III 2022 naik sebesar 28,99% (yoy).
Selaras dengan perkembangan transaksi kartu ATM/Debit, penggunaan kartu kredit pada triwulan III 2022 juga mengalami pertumbuhan sebesar 28,55% (yoy). Selain APMK, tren penggunaan Uang Elektronik (UE) di Provinsi Lampung juga terus berlanjut. Pada triwulan III 2022, dana float atau nilai uang elektronik yang merupakan kewajiban penerbit kepada pengguna tercatat sebesar Rp135,94 miliar atau tumbuh 213,88% (yoy). Peningkatan penggunaan APMK dan UE ini didorong dengan adanya shifting perilaku masyarakat dalam bertransaksi non-tunai khususnya pasca pandemi Covid-19.
Selain APMK dan UE, transaksi pembayaran digital juga dapat melalui infrastruktur yang dikelola Bank Indonesia, yaitu RTGS (Real Time Gross Settlement) dan SKNBI (Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia). RTGS digunakan sebagai sarana transfer dana elektronik untuk transaksi bernilai besar, yaitu Rp100 juta ke atas dan bersifat segera. Pada November 2022, volume transaksi RTGS di Provinsi Lampung sebanyak dua ribu transaksi dengan nominal transaksi Rp2.982 miliar.
Nilai tersebut mengalami penurunan jika dibandingkan pada bulan Oktober 2022 sebesar Rp12.821 miliar. Adapun volume transaksi melalui SKNBI pada November 2022 mencapai 20ribu transaksi dengan nominal Rp1.106 miliar, mengalami peningkatan dibandingkan bulan sebelumnya sebesar Rp1.099 miliar.
Menanggapi data tersebut, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Lampung Prof. Nairobi mengatakan bahwa kemudahan revolusi digital telah mendisrupsi fungsi-fungsi konvensional sektor keuangan, termasuk mengubah perilaku transaksi yaitu menggeser pola konsumsi ke penggunaan platform digital sehingga menuntut metode pembayaran yang serba mobile, cepat, dan aman.
Menurut Nairobi hal ini mendorong tumbuhnya inovasi digital seiring dengan efisiensi dalam mengakses dan memanfaatkan informasi, dan memungkinkan lahirnya model bisnis, industri, dan sumber perekonomian baru.
"Sistem pembayaran yang lancar, diimbangi dengan sistem moneter dan stabilitas sistem keuangan yang baik diyakini akan menjadi basis bagi pertumbuhan perekonomian dan kesejahteraan," katanya, Kamis, 19 Januari 2023.
Lebih dalam lagi ia menjelaskan, pembayaran digital yang lebih praktis dan efisien berdampak positif bagi para pelaku usaha retail, UMKM, maupun pelaku usaha besar di Lampung.
"Kehadiran pembayaran digital turut berkontribusi dalam menyokong pemulihan perekonomian daerah pasca pandemi Covid-19 dan mempertahankan daya konsumsi masyarakat," pungkasnya.
EDITOR
Adi Sunaryo
Komentar