Riset UNESCO Sebut Minat Baca Indonesia 0,001 Persen

Jakarta (Lampost.co) -- Mengutip laporan riset Central Connecticut State University di 2016, Indonesia menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara dengan tingkat literasi rendah. Sedangkan data statistik dari The United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) menyatakan minat baca masyarakat Indonesia, sangatlah memprihatinkan yaitu hanya 0,001%.
Hal itu menjadikan hanya ada satu orang Indonesia yang rajin membaca dari 1.000 orang di negeri ini.
Selanjutnya, dari data penelitian yang digelar United Nations Development Programme (UNDP), indeks pembangunan manusia (IPM) di tingkat pendidikan yang ada di Indonesia tergolong masih rendah, yaitu 14,6%. Jauh lebih rendah dibandingkan Malaysia yang memiliki persentase hingga 28%.
Berdasarkan hasil asesmen nasional (AN) 2021 menunjukkan Indonesia mengalami darurat literasi. Sebab, 1 dari 2 peserta didik belum mencapai kompetensi minimum literasi.
Hasil AN 2021 konsisten dengan hasil PISA 20 tahun terakhir, yang menunjukkan skor literasi membaca peserta didik di Indonesia masih rendah dan belum berubah secara signifikan di bawah rata-rata peserta didik di negara OECD.
Melihat besarnya akar permasalahan literasi di Indonesia. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) terus berkomitmen meningkatkan kemampuan literasi generasi muda Indonesia.
Hal itu dikukuhkan dengan peluncuran kebijakan Merdeka Belajar episode ke-23, Buku Bacaan Bermutu untuk Literasi Indonesia.
Tiga pilar utama menjadi acuan untuk mengawal kesuksesan program agar dapat berjalan dengan baik hingga ke pelosok tanah air. Ketiga pilar itu adalah pemilihan dan perjenjangan, cetak dan distribusi, serta pelatihan dan pendampingan.
Kemendikbudristek memilih buku berdasarkan kriteria buku bacaan bermutu, yaitu buku yang sesuai dengan minat dan kemampuan baca anak. Kemudian terpilihlah 560 judul buku dari pelatihan penulis/ilustrator lokal, terjemahan bahasa daerah ke bahasa Indonesia dan bahasa asing ke bahasa Indonesia, serta modul literasi numerasi siswa kelas 1 hingga kelas 6 SD.
BACA JUGA: Literasi Indonesia Disebut Kembali ke Zaman Batu
Pilar kedua yakni cetak dan distribusi. Kemendikbudristek menyediakan dan mendistribusikan 560 judul buku bacaan bermutu dengan total 15.356.486 eksemplar ke daerah 3T yang terdiri atas 5.963 PAUD dan 14.595 SD, serta daerah lainnya yang memiliki nilai kompetensi literasi/numerasi tergolong rendah.
Pilar ketiga adalah pelatihan dan pendampingan. Menurut Mendikbudristek, kunci keberhasilan penggunaan buku bacaan terletak pada kemampuan kepala sekolah, guru, dan pustakawan dalam mengelola buku bacaan dan memanfaatkan buku bacaan untuk meningkatkan minat baca dan kemampuan literasi siswa.
Selain itu, upaya pelatihan dalam pengelolaan buku bacaan disampaikan kepada kepala sekolah, guru, dan pustakawan agar mereka dapat memajang, merawat, serta merotasi/menyimpan buku secara baik.
Selain itu, mereka juga dilatih untuk dapat mempraktikkan langkah-langkah pemanfaatan buku bacaan dengan cara membaca nyaring, membaca bersama, meminjamkan buku, menggunakan buku untuk kegiatan ekstrakurikuler, serta menggunakan buku untuk melatih guru/sekolah lain.
Dalam hal peningkatan mutu bacaan, ada baiknya melibatkan semua pihak terutama dengan melibatkan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa), Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP), kemudian Ditjen PAUD, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah, serta Ditjen Guru dan Tenaga Kependidikan (Ditjen GTK).
Seketika itu, tercatat 15 juta lebih eksemplar buku didistribusikan untuk 20 ribu lebih PAUD dan SD yang paling membutuhkan di berbagai wilayah. Pendekatan buku bacaan bermutu menjadikan literat masyarakat pendidikan Indonesia yang muaranya memberikan bekal anak bangsa yang berkemajuan, memiliki ruh, yaitu literasi baca-tulis, literasi numerasi, literasi sains, literasi digital, literasi finansial, dan literasi budaya dan kewargaan.
Berbekal literasi dasar itulah akan terbentuk empat kompetensi yang mencakup kemampuan berpikir kritis, kreativitas, komunikasi, dan kolaborasi.
Dengan begitu dampak besar dari budaya literasi adalah meningkatnya kualitas karakter menjadi lebih religius, nasionalis, mandiri, gotong royong, dan integritas.
Gagal mengembangkan buku bacaan bermutu, berarti gagal move on dan masyarakat akan terpapar dan mudah konflik akibat hoaks serta rawan terpecah belah.
Kemudian munculnya aksi-aksi radikalisme, terorisme dan masalah hubungan kemasyarakatan yang sewaktu-waktu bisa meledak akibat rendahnya literasi dan kurangnya ketersediaan buku bacaan yang tepat dan menggembirakan.
EDITOR
Effran Kurniawan
Komentar