Perlawanan dari Alam

KISAH perlawanan bisa datang dari mana saja, dari kelompok tertindas, bahkan dari makhluk hidup yang sudah tidak berdaya. Perlawanan bahkan bisa datang dari sekumpulan hewan ternak yang sudah mati.
Manusia berusaha memberi pakan dan obat-obatan agar hewan-hewan malang itu dapat segera dipanen dan disembelih dalam waktu singkat. Saat tubuh-tubuh tak bernyawa itu disantap manusia, perlawanan muncul dari nutrisi yang terdapat dalam daging ternak.
Dalam jangka waktu lama, kandungan lemak mengendap dan menjadi plak pada dinding pembuluh darah. Selanjutnya, plak menimbulkan penyempitan pembuluh darah. Penyakit jantung atau kardiovaskuler sebagian besar berawal dari kondisi ini. Dalam beberapa kasus penebalan plak menimbulkan penyumbatan sehingga pembuluh darah pecah. Berikutnya, pasokan darah dan oksigen ke otak akan terhambat sehingga mengakibatkan stroke.
Perlawanan lain dilakukan secara tidak langsung oleh seluruh satwa penghuni hutan tropis saat habitat mereka disulap manusia menjadi lahan monokultur. Usai dibabat habis, areal hutan berubah menjadi lahan sawit dengan produk akhir minyak sawit, perkebunan tebu dengan produk akhir gula, atau ladang kedelai dengan produk akhir bungkil pakan ternak.
Setelah lahan berproduksi, minyak sawit menjadi pemicu penyakit kolesterol. Konsumsi gula berlebih plus faktor genetika menjadi pemantik penyakit gula (diabetes). Sementara, bungkil kedelai memasok pakan bagi hewan ternak yang bakal dikonsumsi manusia.
Hasil survei Sample Registration Survey menyebutkan penyakit yang masuk tiga besar pembunuh di Indonesia meliputi, cerebrovaskular atau pembuluh darah otak seperti pada pasien stroke, penyakit jantung, dan komplikasi diabetes mellitus.
Para penderita tiga penyakit itu kemudian mengonsumsi obat pabrikan dari resep dokter untuk penyembuhan. Celakanya, ketika konsumsi obat pabrikan melampaui batas akan menyulitkan kerja ginjal. Jika berlangsung dalam waktu lama, di ujung sana penyakit gagal ginjal sudah menunggu.
Dalam situasi itulah, masyarakat mulai beralih ke pengobatan tradisional, semisal jamu buatan pabrik. Hal yang pertama terlintas dalam pikiran ketika mendengar kata jamu adalah serbuk berwarna cokelat kekuningan dan berasa pahit. Jamu buatan pabrik memang praktis dikonsumsi, tetapi sering dirasa belum cukup untuk mengobati penyakit tertentu.
Banyak orang kemudian mencari alternatif dengan membuat sendiri jamu rebusan. Air rebusan berbagai macam tumbuhan dikonsumsi setiap pagi, sementara selebihnya disimpan dalam kulkas. Sebut saja jahe, jahe merah, serai putih, serai merah, temulawak, temukunci, temuireng, puyang, kunyit kuning, kunyit putih, kencur, dan berbagai jenis daun tanaman. Untuk menambah cita rasa, jamu rebusan sering dicampur dengan air perasan jeruk, gula aren, atau madu murni. Daya sembuh jamu rebusan bergantung kondisi penyakit, disiplin konsumsi, maupun dosis yang tepat.
Demikianlah, perlawanan dari alam sering harus dipadamkan dari unsur alam pula. Dan, umat manusia ternyata harus kembali ke alam untuk menyelesaikan persoalan mereka.
EDITOR
D. Widodo Wartawan Lampung Post
Komentar