Pembalakan Liar di Lampung Cukup Mengkhawatirkan

Bandar Lampung (Lampost.co) -- Kawasan hutan negara di Lampung mencapai 1.004.735 hektare (28,45% luas wilayah) dengan perincian hutan konservasi 462.030 ha, hutan lindung 317.615 ha, dan hutan produksi 225.090 ha. Namun dari luas tersebut, 37,42% dalam keadaan rusak.
Meskipun ada pandemi covid-19 yang meresahkan, pelaku illegal logging (pembalakan liar) masih berkeluyuran dan harus diberantas. Banyak faktor yang memengaruhi kerusakan hutan tersebut salah satunya akibat kegiatan illegal logging.
Oleh sebab itu, mafia illegal logging di Lampung harus diretas karena merugikan negara, masyarakat, dan lingkungan hidup. Aparat dan masyarakat juga diminta bahu-membahu memberantas praktik pencurian kayu di hutan tersebut.
Sejak Januari-Juni 2020 ini, pihaknya mendata ada 10 kasus penanganan perkara tindak pidana hutan (tipihut) oleh PPNS. Baru-baru ini pada Minggu, 14 Juni 2020, lima kubik kayu jati dan delapan orang diamankan terkait aksi penebangan liar di kawasan Register 17 dan 35 Kecamatan Katibung, Lampung Selatan. Kemudian pada Kamis, 11 Juni 2020, mengamankan 1 unit truk Colt Diesel yang mengangkut 120 batang kayu sonokeling berbagai ukuran diduga hasil illegal logging kawasan hutan KPH Tahura Wan Abdul Rachman.
Kemudian sepanjang 2019 ada 26 perkara illegal logging yang tersebar di Tahura Wan Abdul Rachman, KPH Pematang Neba, KPH Liwa, KPH Batutegi, KPH Kotaagung Utara, KPH Way Waya, KPH Pematang Neba, KPH Sungai Buaya, dan KPH Rajabasa. Di 2018 ada 21 perkara pembalakan liar di Tahura Wan Abdul Rcahman, Pematang Neba, Batutegi, Way Waya, dan Pematang Neba.
Pada 2017 ada dua perkara illegal logging di Tahura Wan Abdul Rachman. Sementara pada 2016 ada tiga perkara pembalakan liar di Tahura Wan Abdul Rachman.
Plt Kepala Dinas Kehutanan Lampung, Wiyogo Supriyanto mengatakan dalam tiga tahun ini kasus illegal logging sangat marak terjadi khususnya kayu sonokeling. Banyak kendaraan dan puluhan orang yang diamankan.
Dia mengatakan salah satu kendala yang dihadapi adalah pengungkapan jaringan di atasnya. Sebab, di lapangan jajarannya hanya menangkap sopir, panong, dan tukang tebang. Sementara pemodal tidak ada di lapangan saat penangkapan.
"Kami juga kesulitan karena keterbatasan anggaran dan personel. Oleh sebab itu, perlu kerja sama dengan penegak hukum yang lain untuk memberantas illegal loging," katanya di Ruang Kerja Kantor Dinas Kehutanan Lampung, Senin, 15 Juni 2020.
Dia menambahkan pihaknya telah menangkap Cecep sebagai penadah/pemodal/penampung kayu sonokeling hasil illegal logging jaringan Lampung-Jawa. Saat ini kasusnya dalam pelimpahan tahap II.
Walaupun begitu, masih ada cukong-cukong yang lain belum tertangkap dan sampai saat ini pihak yang berwajib masih melakukan penelusuran.
"Pelaku di lapangan juga terus ditangkap. Tapi untuk pembuktian sampai ke cukong sangat sulit. Jaringan di atas Cecep ini masih ada, tapi kami belum mampu mengungkapnya butuh proses," katanya.
Pelaku illegal logging disangkakan dengan Pasal 83 Ayat (1) huruf B, jo Pasal 12 huruf E, dan atau Pasal 88 Ayat (1) huruf A, jo Pasal 16 Undang-Undang No.18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Pelaku diancam hukuman paling singkat satu tahun dan paling lama lima tahun, serta pidana denda paling sedikit Rp500 juta dan paling banyak Rp2,5 miliar.
"Ke depan untuk memberantas illegal logging perlu kerja sama semua pihak, Dinas Kehutanan, TNI/Polri, dan masyarakat harus terus bersinergi terhadap persoalan ini," katanya.
Dia juga mengatakan jajarannya terus melakukan strategi pengendalian kerusakan perairan darat (PKPD), seperti menjaga dan mempertahankan kondisi kawasan yang baik serta memperbaiki kondisi kawasan yang rusak terus dilakukan. Kemudian mempertahankan kondisi kawasan yang baik, seperti patroli dan operasi pengamanan hutan (polhut), pemberdayaan masyarakat dalam program PS (Mitra KPH, PKSM, Pemegang Izin). Selanjutnya memperbaiki kondisi kawasan yang telanjur rusak, seperti rehabilitasi hutan dan lahan (RHL, gelam, dll) serta perhutanan sosial juga terus dilakukan.
EDITOR
Muharram Candra Lugina
Komentar