Pejuang Sakti

"JANGAN sekali-sekali meninggalkan sejarah.” Begitu pesan Bung Karno. Semboyan terkenal Putra Sang Fajar itu terucap dalam pidato kepresidenan terakhirnya bertepatan pada hari ulang tahun (HUT) Republik Indonesia (RI) tanggal 17 Agustus 1966. Setahun kemudian Bung Karno tidak lagi presiden.
Para sejarawan menilai Presiden Pertama RI Sukarno perlu menekankan pentingnya bangsa Indonesia kala itu mengingat selalu akan sejarah. Dalam konteks waktu itu, ia menilai Indonesia memang tengah menghadapi berbagai persoalan pelik dalam berbangsa dan bernegara.
Indonesia sebagai bangsa yang besar perlu menghayati dan memahami sejarah perjuangan bangsa ketika para pejuang rela mengorbankan jiwa dan raga merebut kemerdekaan dari kaum penjajah. Tanpa jasa mereka itu, bangsa ini tidak akan menikmati suasana kemerdekaan hingga kini.
Dengan menghayati kembali sejarah perjuangan, Bung Karno berharap seburuk apa pun situasinya kala itu, maka segenap bangsa Indonesia harus teguh bersatu-padu. Sejarah pula yang telah membuktikan sesulit apapun situasi di bawah penjajahan bangsa ini mampu untuk merdeka.
Pesan mendalam Bung Karno itu tentu tidak lekang ditelan zaman. Dalam situasi dan kondisi sesulit yang tengah bangsa ini dihadapi kobaran api revolusi tidak boleh padam. Ia harus terus membara di dalam sanubari menjadi energi positif penyemangat manakala kesulitan datang.
Ketika bangsa ini masih bergelut dengan pandemi Covid-19 misalnya, anak-anak bangsa tidak boleh pasrah apalagi menyerah kalah melawan serbuan virus korona. Bangsa ini sudah seharusnya mencontoh semangat para pejuang untuk terus berjuang di masa pagebluk agar dapat segera terbebas dari Covid-19.
Agar semangat para pejuang itu abadi sepanjang zaman maka mengenal lekat sosok para pahlawan adalah keharusan. Menelusuri seluk-beluk kehidupan mereka, serta perjuangan secara mendalam tentu dapat menjadi inspirasi generasi muda bangsa untuk mengisi kemerdekaan.
Sebab itu, mengangkat sosok-sosok pahlawan di setiap daerah sebagai pahlawan nasional menjadi proses tahunan jelang HUT RI tidak bisa dianggap remeh. Setiap daerah, tidak terkecuali Lampung, sudah barang tentu membutuhkan sosok lokal hero sebagai sumber inspirasi masyarakatnya.
***
Adalah tokoh Nahdlatul Ulama (NU) Lampung KH Arief Makhya dalam surat dengan guratan tangannya sendiri, memohon kepada Presiden Republik Indonesia agar pada proses pemberian gelar pahlawan nasional berikutnya kepada warga Lampung untuk memprioritaskan dua tokoh.
Mereka adalah Mr Gele Harun dan KH Ahmad Hanafiah. Arief Makhya menilai keduanya memiliki peran penting dalam revolusi fisik mempertahankan kemerdekaan RI pada kurun waktu 1947 hingga 1949 melawan agresi militer Belanda. “Peran keduanya tidak terbantahkan,” ujarnya.
Sosok Ahmad Hanafiah kembali mencuat ke publik manakala Pemerintah Kabupaten Lampung Timur membangun monumen patungnya di ruas jalan utama Sukadana. Pada tahun yang sama pula Pemerintah Provinsi Lampung mengajukan namanya sebagai pahlawan daerah pada 2015.
Sosok ulama sekaligus pejuang ini memang lahir di Sukadana, ibu kota Kabupaten Lampung Timur pada 1905 dengan nama Ahmad Hanafiah. Pemimpin pergerakan umat Islam di Lampung melawan penjajah Belanda memiliki kemampuan unik, yakni kesaktian kebal senjata.
Sepak terjang Ahmad Hanafiah dengan Laskar Bergolok-nya untuk membela Ibu Pertiwi menjadi bagian dari sejarah perjuangan bangsa melawan agresi Belanda yang menyerang Lampung dari arah Palembang yang dikenal sebagai Front Baturaja dan Front Pertempuran Kemarung.
Kesaktiannya tidak hanya dalam ilmu olah kanuragan. Akan tetapi juga olah intelektualitas sebagai sosok pemikir Islam dari Tanah Lada yang juga memiliki sumbangsih nyata. Sebagai ulama-cendekia, ia menghasilkan dua naskah atau kitab utama, yakni Al-Hujjah dan Tafsir Sirr al-Dahri.
Ahmad Hanafiah merupakan sosok inspiratif paket komplet. Selain sebagai ulama, cendekia, juga pejuang. Dia juga memiliki pengalaman menduduki jabatan publik, di antaranya pada masa penjajahan Jepang, ia menjadi anggota Chuo Sangi Kai di Karesidenan Lampung tahun 1945—1946.
Ia pun menjadi ketua Partai Masyumi dan pimpinan Hizbullah Kewedanan Sukadana. Lalu menjadi anggota DPR Karesidenan Lampung pada tahun 1946—1947. Ia juga menjabat sebagai wakil kepala merangkap kepala bagian Islam pada kantor Jawatan Agama Karesidenan Lampung sejak awal 1947.
Puncaknya pengabdiannya kepada Tanah Airnya adalah menjadi syuhada di medan perang dalam mempertahankan kemerdekaan RI dari agresor Belanda menjelang malam 17 Agustus 1947 di Front Kamerung, Baturaja, Sumatera Selatan. Ia berjuang hingga tetes darah penghabisan.
***
Sebab itu, sudah benar langkah Universitas Negeri Islam (UIN) Raden Intan Lampung, Pemerintah Kabupaten Lampung Timur, dan Pemerintah Provinsi Lampung untuk mendorong kembali sosok Ahmad Hanafiah dianugerahi gelar pahlawan nasional. Kiprah perjuangannya merupakan fakta autentik tidak terbantahkan.
Sosok ini jelas memiliki kompleksitas ketokohan yang dapat menjadi sumber inspirasi generasi sekarang. Anak bangsa kekinian, terutama di provinsi ini, perlu lokal hero yang dapat menjadi teladan dalam segala aspek kehidupan untuk mengisi kemerdekaan bangsa yang tidak boleh disia-siakan.
Di era digital saat ini, anak-anak bangsa butuh sosok pahlawan yang amat nyata dan dapat menjadi patron mereka membangun karakter. Di era banjir informasi tanpa batas ruang dan waktu ini jangan sampai anak-anak justru mengidolakan sosok-sosok pahlawan fiksi juga impor dari negeri orang.
Agar anak-anak bangsa mengenal sosok-sosok penting perjuangan bangsa tentu tidak pernah akan cukup dengan hanya memberi gelar pahlawan nasional atau monumen. Juga tidak akan tuntas dengan mengabadikan nama mereka untuk nama jalan, gedung, ataupun institusi publik.
Lebih penting lagi adalah mendekatkan sosok-sosok berjasa bagi kemerdekaan bangsa ini dengan jalan literasi. Karena itu memperkaya literasi adalah upaya yang harus ditempuh tidak kalah seriusnya di kemudian hari. Dengan kekayaan literasi sosok mereka akan mudah untuk didalami.
Jangan sampai generasi di negeri ini terutama di Bumi Ruwa Jurai ini tidak mengenal siapa itu Gele Harun, Ahmad Hanafiah, Arief Makhya, atau tokoh-tokoh penting lainnya. Sebagaimana pesan Bung Karno di awal tulisan ini. “Jangan sekali-sekali meninggalkan sejarah.” n
EDITOR
Sri Agustina
Komentar