Mengawal Kasus Bully

KASUS bully atau perundungan kembali mencuat. Kali ini menimpa Audrey, siswa SMP di Pontianak yang dirundung 12 siswi SMA. Meski kemudian ada polemik dalam penanganan kasus ini, dengan adanya berbedaan hasil visum dengan pengakuan korban serta jejak digital korban yang kemudian membuatnya semakin di-bully netizen.
Miris melihat bangsa di negara “ber-flower” (pinjam istilah anak gaul saat ini). Korban bully semakin di-bully. Berkoar-koar setop bully, tapi kemudian malah melakukan perundungan terhadap 12 pelakunya.
Semestinya kita harus ingat, baik pelaku maupun korban sama-sama anak-anak yang perlu dibimbing. Merekalah penerus bangsa ini ke depannya. Di tangan mereka pulalah kita meletakkan nasib bangsa ini ke depan.
Apa yang dilakukan 12 siswi SMA terhadap Audrey memang mesti dituntaskan. Sebagai negara hukum, kita wajib menegakkan keadilan bagi pelaku juga korban. Tapi, tetap saja ke-12 pelaku, tiga di antaranya sudah ditetapkan sebagai tersangka, perlu pembinaan untuk tidak mengulangi lagi perbuatannya.
Badan PBB yang menangani permasalahan anak, UNICEF, menyebutkan proses mediasi korban dan pelaku harus didampingi orang tua atau wali, pembimbing kemasyarakatan (PK), dan pekerja sosial profesional. Konsep ini bertujuan mencegah masalah terulang serta aksi balas dendam. Harus ada solusi bagi korban, pelaku, dan masyarakat serta netizen. Pelaku harus menyadari kesalahannya yang berdampak buruk bagi orang lain.
Mungkin kita harus belajar dari Inggris, yang menangani kasus-kasus kenakalan anak dan remaja menggunakan hukuman restorative. Fokus utama pendekatan restoratif terletak pada pemulihan dan kompensasi kerugian. Jadi, yang terpenting bukan memberikan hukuman seberat-beratnya pada si pelaku.
Departemen Pendidikan Inggris melaporkan hukuman restoratif ini terbukti mengurangi frekuensi pengulangan kejahatan sebesar 18%. Dari 70%—80% kejahatan anak dan remaja di Inggris ditangani dengan hukuman restoratif. Hasilnya, 97% efektif mencegah perundungan.
Selain itu, sekolah yang menerapkan pendekatan restoratif untuk mengatasi kenakalan remaja berhasil menekan efek perundungan hingga 51%. Pada sekolah yang tidak menerapkannya, efek pengucilan mencapai 65%.
Karena itulah, seburuk apa pun yang dilakukan para pelaku terhadap korban, hukuman pidana hanya akan menimbulkan dampak lebih buruk. Jeruji besi bukanlah tempat yang tepat untuk pembinaan. Justru dikhawatirkan penjara menjadi media kontaminasi bagi anak-anak itu melakukan kejahatan lebih besar di masa yang akan datang. Ingatlah mereka anak-anak di bawah umur, yang masa depannya masih amat panjang.
Sebagai masyarakat umum, lebih baik kita menjaga jari jemari kita untuk tidak mem-bully para pelaku di media sosial. Saat kita sibuk menghujat, menyebarkan video korban dan pelaku di medsos, tanpa kita sadari kita malah ikut melakukan perundungan. Ingatlah perundungan itu bukan hanya kekerasan fisik atau kata-kata kasar secara langsung, hujatan di medsos itu juga salah satu cyber bully. Mari kita mengawal kasus bully tanpa harus mem-bully!
EDITOR
Nova Lidarni, Wartawan Lampung Post
Komentar