Lawan Money Politik dengan Pendidikan ke Tingkat Bawah

Bandar Lampung (Lampost.co) -- LBH Bandar Lampung menggelar agenda Catatan Akhir Tahun 2019, dengan tema Api dalam Sekam Pura-Pura Demokrasi Kedaulatan Rakyat Digerogoti, pada Senin, 23 Desember 2019.
Berbeda dengan catatan akhir tahun sebelumnya, LBH menempatkan isu politik pada agenda ini, selain penanganan perkara yang ada. Pilkada identik dengan dengan money politik juga korupsi. Apalagi tahun 2020 bakal digelar pilkada serentak di 8 kabupaten/kota di se Lampung.
Money politik dan jual beli perahu partai tentunya menjadi faktor tingginya biaya politik yang berujung pada bagi-bagi proyek hingga korupsi.
Direktur LBH Bandar Lampung Chandra Muliawan mengamini hal tersebut. LBH melalui upaya grass root, tentunya berjuang untuk melawan money politik. Caranya, dengan memperkuat pendidikan politik ke masyarakat di tingkat bawah.
"Kita polanya empati pendekatan person to person, misal kita ada case di basis kita, di situ kita paparkan pendidikan politik, pentingnya menolak politik uang, itu juga jadi kerangka kerja kita yang akan datang. Ada ungkapan ambil uangnya, jangan pilih calonnya, saya pikir itu juga pemahaman yang salah," ujar Chandra, Senin, 23 Desember 2019.
Kemudian Akademisi Unila Roby Cahyadi, mengatakan kendala dari terciptanya peluang money politik, hingga jual beli perahu, karena peraturan pilkada yang dibentuk. Termasuk parlemen tresshold dan Presendesial tresshold.
"Ya harus dihapus kalau enggak diganti, uu sepakat merevisi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, di PKPU aja dilegalkan pemberian barang misalnya tapi dibawah nominal tertentu," ujarnya.
Kemudian beberapa faktor lain pada pilkada yakni Netralitas ASN, dimana mereka sangat memiliki peran, untuk membolisiasi masa, ke salah satu calon misalnya petahana.
"Ya ASN kan udah merapat biasanya ke salah satu calon, nanti dapat jabatan jadi kadis atau apa, itu makanya saya setuju ASN sama kayak TNI Polri, enggak usah milih," katanya.
Akademisi Lainnya yakni Budiono, juga sepakat tresshold berpotensi money politik dan mahar politik, termasuk adanya jual beli perahu partai untuk rekomendasi pencalonan kepala daerah.
"Tresshold dan aturan pilkada, hanya mengakomodir kelompok tertentu, partai lain atau orang dengan kemampuan lain sulit mendapatkan peluang, makanya calon cuma ada dua, bahkan ada yang satu lawan kotak kosong, masyarakat diberi pilihan yang terbatas," paparnya.
Salah satu turunan dari money politik, adalah upaya-upaya jual beli jabatan di pihak penyelenggara. Seperti yang dilaporkan Budiono sendiri ke DKPP RI. Anggota DPRD Provinsi Lampung dari Fraksi NasDem Wahrul Fauzi Silalahi mengatakan, partainya komitmen dengan jargon tanpa mahar. Ia pun tak menampik adanya kepala daerah dari partainya yang terjaring OTT KPK, sikap NasDem jelas mendukung hal itu.
"NasDem komit tanpa mahar, ya memang ada beberapa kader nasdem di OTT, tapi kami komit tidak memberikan bantuan hukum, mencopot jabatan, dan ini komitmen tanpa mahar diseluruh jajaran dari pusat hingga kabupaten kota," tandasnya.
EDITOR
Setiaji Bintang Pamungkas
Komentar