Lampung Mendunia

BUMIKU Tanoh Lampungku Lawi (Bumiku Tanah Lampung)
Panjak Wah-wah di Nusantara (Terang di Nusantara)
Tani Rukun Sangun Jak Jebi (Petani Damai Sejak Dahulu)
Tanoh Lampungku Tanoh Lado (Tanah Lampungku Tanah Lada)
Penggalan lagu Tanah Lado itu tentu tidak asing bagi telinga masyarakat Lampung. Bahkan nyaris di setiap pesta atau hajatan lagu ini kerap berkumandang. Lagu karya Fatsyahbudin ini dirilis pada 2010 silam dan begitu populer lewat suara merdu Andy Achmad. Sebagai putra daerah, Kanjeng—demikian sapaan Andy Achmad, terasa demikian menghayati kala membawakan lagu ini. Ia seolah merindu akan kejayaan lada Lampung yang mendunia saat zaman dahulu kala.
Kerinduan itu tentu amat beralasan. Sejarah mencatat Bumi Ruwa Jurai merupakan daerah penghasil lada hitam atau black pepper terbesar di dunia sejak zaman kolonial. Pada abad ke-17 wilayah ini mampu memproduksi sekitar 39.000 ton lada hitam. 1935, Lampung bahkan dapat menghasilkan 45 ribu ton black pepper. Pada tahun 1970 produksi lada Lampung mampu mencapai angka 50 ribu ton dengan tingkat produktivitas lahan sebesar 1,5—2 ton per hektare
Tatkala lada Lampung berada pada masa kejayaannya, komoditas ini memberi kontribusi demikian besar pada kesejahteraan masyarakat dan perekonomian Lampung. Namun, apa daya kejayaan itu tidak berlaku abadi. Di pasar global posisi nomor satu Indonesia sebagai negara penghasil lada tergeser oleh Vietnam. Pun halnya posisi nomor wahid Lampung sebagai daerah penghasil komoditas ini pun harus tergerus oleh Bangka Belitung. Kejayaan lada Lampung tinggal kenangan.
Kenangan akan kejayaan lada Lampung di masa lampau itu tentu tak boleh menjadi ratapan semata. Sepatutnya ia menjadi pelajaran berharga sekaligus penyemangat bahwa untuk “mendunia” Lampung punya pengalaman, yakni memiliki keunggulan komparatif, meminjam istilah ekonom klasik David Ricardo, dalam hal memproduksi lada. Melalui teknik budidaya yang dimilikinya, petani lada di Lampung kala itu mampu menghasilkan lada dengan aroma luar biasa berbeda dari daerah lain.
Keunggulan komparatif tentu tidak datang begitu saja. Ini buah kerja keras sebuah daerah atau suatu negara dalam penguasaan teknik atau bahkan teknologi produksi. Ketika pasar bebas terbuka lebar, maka negara dengan penguasaan teknologi melebihi negara lain akan mendapat keuntungan dalam persaingan perdagangan mancanegara dibanding yang lain. Jelaslah jika lada atau komoditas apa pun di Lampung ingin mendunia, memiliki keunggulan komparatif adalah syaratnya.
***
Urusan mendunia atau menembus pasar global itu kini tengah menjadi salah satu program penting Kementerian Perindustrian, utamanya untuk para pelaku usaha industri kecil dan menengah (IKM). Tidak tanggung-tanggung Kemenperin menargetkan 30 juta pelaku IKM di Tanah Air sudah masuk platform digital. Mengapa perlu on boarding pada platform digital? Jawabannya sudah barang tentu agar produk-produk IKM itu mudah menggapai pasar dunia lintas negara.
“Kami berupaya meningkatkan jumlah pelaku UMKM, mendorong mereka segera terhubung dengan platform digital. Kami menargetkan 30 juta UMKM sudah terhubung ke dalam platform digital pada 2024,” kata Menteri Perindustrian Agus Gumiwang di Pulau Tegal Mas, Pesawaran, Kamis (23/6).
Hal ini ia utarakan pada momen harvesting atau pameran program Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia (Gernas-BBI) yang pesertanya ratusan IKM/UMKM dari dan luar Provinsi Lampung.
Ada hal membanggakan yang terungkap dalam kegiatan tersebut. Lima IKM Lampung dinobatkan sebagai champion atau pemenang. Mereka, yakni Lampung Ethnica, Pisang Shamiya, Littlemonq, Rafins Snack, dan Askha Jaya. Kelimanya, bahkan menurut Menteri Agus Gumiwang, mampu menghasilkan transaksi baik offline maupun online hingga Rp5,3 miliar. Ini merupakan capaian prestisius terlebih di masa pandemi Covid-19 masih membayangi kegiatan ekonomi saat ini.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan yang menghadiri kegiatan tersebut mengatakan keberadaan UMKM/IKM amat penting mendorong pertumbuhan ekonomi, menjaga inflasi, menopang ekspor, dan menciptakan jutaan lapangan pekerjaan. “Hingga Mei 2022 total IKM mencapai 19,1 juta unit. Rata-rata per bulan jumlahnya meningkat 400 ribu IKM dan akan terus ditingkatkan menjadi 600 ribu per bulan,” katanya saat memberikan sambutan.
Ini tentu patut mengapresiasi pemerintahan saat ini begitu peduli dengan pelaku UMKM/IKM. Mereka ini ketika krisis ekonomi selalu bisa membuktikan diri sebagai pelaku usaha tahan banting di tengah krisis. Sayangnya di era-era sebelumnya peran IKM/UMKM tidak ubahnya sebagai bumper semata yang harus siap pasang badan ketika ekonomi susah, namun tatkala ekonomi membaik, peran mereka terlupakan. Namun kini IKM/UMKM tidak lagi sekadar bumper. Mereka harus menjadi aktor utama penggerak perekonomian.
Keberpihakan penguasa pada pelaku ekonomi kerakyatan sebelumnya hanya lips service kala musim kampanye. Tatkala momen politik berakhir janji manis itu pun menguap. Nyatanya pemerintah saat ini bersikap lain bahkan bisa dibilang demikian serius menggenjot dan mengembangkan IKM/UMKM. Bahkan, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian awal bulan ini mengultimatum daerah yang tidak membelanjakan anggarannya minimal 40% untuk produk dalam negeri milik pelaku IKM/UMKM siap-siap mendapat sanksi tegas.
***
Di era serbadigital seperti saat ini, tatkala orang tidak lagi harus datang ke pasar untuk berbelanja, ikhtiar menembus pasar bebas atau mendunia itu kian mudah. Pelaku usaha cukup mendaftarkan diri menjadi merchant atau pedagang pada platform atau aplikasi belanja online tertentu, maka urusan menembus market lintas negara itu menjadi alangkah mudahnya. Itu mengapa pemerintah ngotot agar jutaan UMKM/IKM di Tanah Air segera merapatkan diri ke platform digital.
Usaha UMKM/IKM tumbuh dan berkembang kian terbuka dengan adanya keberpihakan penguasa kepada mereka. Political will demikian besar untuk mengembangkan UMKM/IKM akan memberi dampak positif bagi para pelaku UMKM/IKM. Bahkan, pemerintah menargetkan belanja produk UMKM/IKM tahun ini bisa menyentuh angka Rp400 triliun. Itu artinya baik produk maupun jasa pelaku usaha kerakyatan di Tanah Air akan menjadi primadona lembaga pemerintah.
Persoalannya untuk benar-benar mendunia tentu tidak hanya membutuhkan keberpihakan penguasa dan nempel pada platform digital semata. Sebab, di dalam pasar bebas yang berlaku adalah produk berkualitas dan memiliki keunggulan komparatif yang banyak berbicara dan memenangkan persaingan dalam pasar terbuka. Itu artinya ke depan harus ada ikhtiar lebih serius lagi untuk meningkatkan kualitas produk UMKM/IKM yang dimiliki anak bangsa termasuk di Lampung.
Dengan lahan tidak lebih luas dari Indonesia, Vietnam mampu menguasai pasar lada dunia. Pun halnya dengan Provinsi Bangka-Belitung yang kini menggeser Lampung. Jawaban dari fenomena ini sederhana sekali. Mereka memiliki keunggulan komparatif. Mereka memiliki teknologi yang tidak dimiliki Indonesia juga Lampung. Dalam budidaya lada kekinian teknologi mereka tentu lebih mutakhir sehingga dengan lahan terbatas kapasitas produksi mereka jauh lebih besar. Semoga petani lada, IKM/UMKM Lampung dapat terus tumbuh dan berkembang sehingga kelak benar-benar bisa berbicara banyak di pasar global.
EDITOR
Sri Agustina
Komentar