Terima 3.544 Laporan Sepanjang 2023, KPK: Sengketa Tanah Banyak Banget

Jakarta (Lampost.co) -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengaku menerima 3.544 aduan dugaan rasuah dari masyarakat sampai dengan Agustus 2023.
"Sampai dengan Juni ada 2.707 pengaduan dan sekarang sampai dengan Agustus kita ada 3.544," kata Direktur Pelayanan Pelaporan dan Pengaduan Masyarakat Tomi Murtomo di Jakarta, Senin, 11 September 2023.
Tomi menjelaskan laporan itu masuk melalui email, whistleblower system, datang langsung, pesan, surat, dan telepon. Sebanyak 3.052 aduan yang diterima sudah diverifikasi. "Jadi ada yang sifatnya dari 3.544 ada 492 yang non laporan jadi tidak bisa kita verifikasi lebih lanjut," ucap Tomi.
Tomi menjelaskan sebanyak 482 laporan yang tidak diverifikasi bukan berarti tidak ditindaklanjuti. KPK mengarsipkan aduan itu karena materinya terkait permohonan audiensi, konsultasi, maupun sengketa lahan. "Sengketa tanah itu banyak banget yang melaporkan, bahwa dia bersengketa antara swasta, perorangan dengan perorangan," ujar Tomi.
Tomi menyebut sengketa lahan bukan urusan KPK jika tidak berkaitan dengan dugaan korupsi yang menyangkut pejabat. Tapi, pihaknya tidak bisa menolak laporan masyarakat yang masuk. "Dia laporkan ke KPK mohon keadilan. Itu banyak surat surat seperti itu," kata Tomi.
Lebih lanjut, sudah ada 2.994 dari total 3.052 laporan selesai di tahap verifikasi. Sebanyak 58 sisanya masih dalam proses. Tomi menjelaskan pihaknya membuat empat kategori dari aduan yang sudah diverifikasi. Sebanyak 2 masuk ke eksternal, dan lima dikirim ke internal KPK.
"Dari 2.994 yang diverifikasi itu yang ditelaah. 1.367. Yang diarsip 1.620 karena mungkin data dokumen enggak ada, nomor telepon enggak ada yang bisa kita tanyakan untuk lengkapi," kata Tomi.
Dia menjelaskan pengarsipan dilakukan karena kelengkapan laporan dari masyarakat kurang. Sehingga, KPK menahannya untuk menunggu pihak yang mengadu datang. "Atau diarsip itu sebenarnya korupsi tapi data dokumen tidak ada, terus dugaan tindak pidana korupsi sumir," kata Tomi.
EDITOR
Deni Zulniyadi
Komentar