#beritalampung#beritabandarlampung#demo

Entitas `Lapar Lahan` Kerap Sebabkan Sengketa Tanah

Entitas `Lapar Lahan` Kerap Sebabkan Sengketa Tanah
Para petani di Malangsari saat melakukan aksi unjuk rasa di Tugu Adipura usut tuntas mafia tanah. Lampost.co/Putri Purnama


Bandar Lampung (Lampost.co): Akademisi FISIP Universitas Lampung, Fuad Abdulgani, mengatakan entitas yang terus merasa 'lapar lahan' kerap menjadi pemicu terjadinya sengketa tanah di Lampung. Entitas itu diantaranya para perusahaan pertanian dan perkebunan skala besar, serta pemerintah. 

Fuad mengatakan ada dua pemicu konflik agraria. Pertama, kurang tepatnya hukum dan kebijakan pengatur masalah agraria, baik terkait pandangan atas tanah, status tanah, kepemilikan, hak-hak atas tanah, maupun metode untuk memperoleh hak-hak atas tanah. Kedua, kelambanan dan ketidakadilan dalam proses penyelesaian sengketa tanah, yang akhirnya berujung pada konflik.

Menurutnya, selain perusahaan-perusahaan pertanian dan perkebunan dengan skala besar, sengketa tanah juga kerap melibatkan pemerintah. Salah satu contohnya sengketa lahan antara warga dan pemerintah dalam proyek stategis nasional, yang kerap merugikan masyarakat. 

"Ada anggapan di samping emas, nilai tanah dari waktu ke waktu akan semakin tinggi, sehingga untuk memperoleh tanah semakin sulit. Kalau sudah seperti itu, yang dilihat hanya fungsi ekonominya saja tanpa peduli dengan fungsi sosialnya, dan itu tidak sesuai dengan Undang-Undang Pokok Agraria Tahun 1960," kata Fuad, Kamis, 13 Oktober 2022.

Baca juga:  Ratusan Awak Media di Lampura Demo Tuntut Pembayaran di DPRD dan Pemda

Dua faktor itu, kata Fuad, kerap menjadi salah satu penyebab munculnya para mafia tanah khususnya di Lampung. Mafia itu ada di dalam sebuah proses transaksi di pasar tanah, antara penjual dan pembeli. Bahkan antara pemilik dan oknum-oknum pertanahan yang tidak berintegritas. 

"Kalau sudah seperti itu pihak yang dirugikan akan melakukan laporan, misalnya ke BPN. Tapi sayangnya BPN sendiri tidak memiliki kewenangan untuk memutuskan siapa yang salah dan benar ketika ada sengketa lahan, itu harus melalui peradilan. Sedangkan dalam penerapan, mafia tanah sering menang di peradilan karena punya kekuatan," ujarnya. 

Untuk itu, saat ini banyak masyarakat yang memilih untuk melaporkan ihwal sengketa tanah kepada Ombudsman, yang tugasnya memang untuk mengawasi bahkan memiliki kewenangan untuk melakukan investigasi. Tapi, sama seperti BPN, Ombudsman juga tidak memiliki kewenangan memutuskan pihak mana yang bersalah ketika terjadi sengketa lahan. 

"Ombudsman sendiri hanya bisa mengeluarkan rekomendasi atas hasil investigasinya. Tapi semua yang dilakukan jelas lebih transparan dibandingkan ketika laporan ke Polisi. Proses hingga hasilnya bahkan disajikan secara online yang bisa dilihat oleh pelapor," kata Fuad. 

Atas dasar tersebut, Fuad menganggap wajar ketika masyarakat lebih memilih untuk melaporkan adanya sengketa tahah kepada Ombudsman, bukan kepada BPN ataupun kepolisian. Alasan lainnya bisa dikatakan bahwa penanganan di kepolisian tentang kasus mafia tanah cukup lamban. 

"Banyak kasus yang melibatkan perusahaan besar dan dilaporkan ke kepolisian, tapi banyak yang nyangkut bahkan terkesan pembiaran. Makanya petani, nelayan, atau warga yang ada sengketa lahan dengan entitas besar enggan untuk lapor polisi," ujarnya.

EDITOR

Adi Sunaryo


loading...



Komentar


Berita Terkait