Elsam Minta Pemenuhan Hak Korban Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu Dipenuhi Negara

Bandar Lampung (Lampost.co): Presiden Joko Widodo mengakui dan menyesali terjadinya peristiwa pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang berat sepanjang tahun 1965-2003.
Pernyataan resmi presiden disampaikan Rabu, 11 Januari 2023, sebagai tindak lanjut laporan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM yang Berat Masa Lalu (TPPHAM), yang dibentuk melalui Keppres No. 17/2022, pada Agustus 2022 yang lalu.
Jokowi menyebutkan 12 peristiwa yang termasuk kategori pelanggaran HAM berat, termasuk peristiwa Talangsari, Lampung 1989.
Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Wahyudi Djafar menyampaikan terlepas dari minimalnya langkah yang diambil negara, pengakuan dan penyesalan resmi ini perlu diapresiasi sebagai pemecah kebekuan atas kemandekan proses penyelesaian pelanggaran HAM yang berat.
"Tantangannya kemudian adalah bagaimana memastikan tindak lanjut dari pengakuan dan penyesalan presiden tersebut, melalui suatu mekanisme penyelesaian yang menyeluruh, agar pernyataan presiden tidak semata menjadi gula-gula politik jelang kontestasi Pemilu 2024," katanya dalam siaran pers yang diterima, Kamis, 12 Januari 2023.
Wahyu menambahkan pengakuan resmi ini semestinya hanya semata-mata ditempatkan sebagai proses awal dari suatu rangkaian penyelesaian yang menyeluruh, yang sepenuhnya harus tunduk pada sejumlah prinsip.
Ia menuturkan beberapa poin masukan kepada Presiden Joko Widodo yang pertama pembentukan dan laporan yang disusun oleh TPPHAM yang berat non-yudisial, adalah langkah politik yang sifatnya tidak menggantikan penyelesaian melalui jalur yudisial, prinsipnya melengkapi bukan menggantikan atau substitusi.
"Pengakuan resmi Presiden terkait dengan terjadinya pelanggaran HAM yang berat, pada kasus-kasus yang telah diselidiki oleh Komnas HAM, justru menjadikan tidak adanya lagi alasan bagi Jaksa Agung untuk tidak menindaklanjuti hasil penyelidikan pro-justisia Komnas HAM dengan proses penyidikan," terangnya.
Ia juga ingin negara memastikan pemenuhan hak atas keadilan, merujuk pada prinsip-prinsip penghapusan impunitas, negara juga perlu memenuhi hak atas kebenaran, sebagai manifestasi dari hak untuk tahu, atas peristiwa yang terjadi, tidak hanya bagi korban, tetapi juga masyarakat.
"Langkah ini dapat dilakukan dengan meneruskan laporan dari TPPHAM, untuk dikembangkan sebagai sebuah laporan yang utuh dan akuntabel, yang disusun secara partisipatif, sebagai sebuah narasi sejarah baru bagi Indonesia," ujarnya.
Lalu, Wahyu juga meminta negara menjamin proses pemulihan yang komprehensif, sebagai implementasi dari pemenuhan hak reparasi bagi korban, untuk mengembalikan martabat korban pada situasi semula sebelum terjadinya pelanggaran.
"Pemulihan juga tidak semata-mata bentuknya rehabilitasi sosial dan ekonomi, tetapi juga mesti memberikan jaminan kepuasan bagi korban, dengan memulihkan reputasi mereka," jelasnya.
Dan poin keempat, untuk menjamin ketidakberulangan atas peristiwa yang terjadi, langkah menjamin ketidakberulangan dapat dikembangkan melalui upaya-upaya memorialisasi seperti pembangunan monumen/prasasti untuk mengenang suatu peristiwa tertentu, pembaruan dan pembangunan museum, perubahan kurikulum pendidikan. Termasuk juga mendukung proses-proses rekonsiliasi kultural yang dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat di tingkat akar rumput
"Oleh karena itu, komitmen politik Presiden untuk memastikan langkah-langkah di atas, akan menjadi kunci utama realiasi janji negara untuk memenuhi hak korban atas keadilan, kebenaran, pemulihan, dan jaminan ketidakberulangan," pungkasnya.
EDITOR
Adi Sunaryo
Komentar