#dewanpers#rkuhp#

Dewan Pers Sampaikan Pasal Bermasalah RKUHP

Dewan Pers Sampaikan Pasal Bermasalah RKUHP
Dewan Pers. Ilustrasi


Jakarta (Lampost.co)--Dewan Pers dalam RDPU bersama Komisi III DPR menyampaikan sekitar 20 pasal dalam RKUHP yang nengancam kebebasan pers.

Ketua Komisi Penelitian, Pendataan dan Ratifikasi Pers Dewan Pers Ninik Rahayu mengatakan terdapat berapa pasal dari sembilan klaster sekitar 20 pasal yang ada di dalam RKUHP mengancam kebebasan pers, seperti pasal 188 ayat 2 yang diformulasi

"Jadi kami tidak menolak pasal-pasal ini untuk dihapus, tidak ada tapi mereformulasi terutama untuk kepentingan kemerdekaan pers," jelasnya, Selasa, 23 Agustus 2022.

Di pasal 188 ayat 2 jelas Ninik perlu dilengkapi dengan delik materil yaitu apa yang dimaksud perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 pasal 188 mengganti Pancasila. Frase tersebut bersifat multi tafsir. Oleh karena itu perlu dilengkapi dengan tindakan kekerasan dengan maksud mengubah atau mengganti Pancasila.

"Jadi delik material yang seharusnya dapat dibuktikan apabila upaya melakukan penggantian itu dilakukan dengan kekerasan. Di pasal 188 ayat 6 di situ juga ada direformulasi diubah menjadi tindak pidana orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana ayat 1 apabila dilakukan untuk ilmu pengetahuan dan kegiatan ilmiah," paparnya.

Dia menerangkan alasan pasal 188 ayat 6 perlu diformulasi karena kajian terhadap Komunisme, Marsisme dan Leninisme untuk kepentingan ilmu pengetahuan tetap diperbolehkan.

"Itu beragam sekali modelnya bisa mengajar bisa mempelajari, memikirkan bahkan menguji, menelaah yang juga tidak hanya dilakukan oleh perguruan tinggi tapi juga yang dilakukan oleh masyarakat. Oleh karena itu kajian-kajian ini baik yang dilakukan dalam bentuk lisan ataupun tulisan tetap diperbolehkan selama untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan ilmiah yang dilakukan secara bebas," ungkapnya.

Kemudian Pasal 218 ayat 2 dewan pers juG mereformulasi dengan menambahkan tugas jurnalistik. Hal ini bertujuan agar lebih harmonis dengan ketentuan putusan Mahkamah Konstitusi yang telah membatalkan pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden di dalam KUHP.

Sehingga rumusannya tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana yang dimaksud ayat 1 dalam pasal 218, jika perbuatan dilakukan untuk tugas jurnalistik kepentingan umum atau pemberian diri.

"Selanjutnya 219 ayat 2 diformulasi tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud ayat 1 jika perbuatan untuk tugas jurnalistik kepentingan umum atau pembelaan diri," kata Ninik.

Selain itu pasal yang mengatur penghinaan terhadap pemerintah pasal 240 juga dilakukan reformulasi dengan menambahkan kalimat dengan maksud sehingga mengakibatkan terjadinya.

"Ini rumusan dari material yang kita usulkan sehingga ada pembuktian yang harus dibuktikan bahwa kerusuhan itu sengaja dilakukan yang mengakibatkan kerusuhan," cetusnya.

Menanggapi penyampaian tersebut Wakil Ketua Komisi III DPR Desmond Mahesa menerangkan RKUHP bukan undang-undang politik sehingga minim gesekan kepentingan antara partai politik.

"Kalau undang-undang politik itu bisikan partai dan kepentingan gesekan antara kita kelihatan. Ini undang-undang dalam rangka hukum negara yang dijalankan jadi kepentingan gesekan politiknya hampir tidak ada," ujarnya.

RKHUP sambungnya sudah disahkan di tingkat pertama DPR dan merupakan hasil perdebatan para pakar hukum pidana.

"Kami fraksi di DPR mengikuti (kami) makmum. Ketika praktek dari undang-undang itu ada yang terzalimi itu menjadi persoalan lain. Catatan-catatan ini akan kami bicarakan dengan pemerintah tinggal bagaimana relaksasi agar semua hal bisa teradopsi dengan baik. Undang-undang tidak boleh menjadi alat menzalimi," tukasnya.

EDITOR

Sri Agustina


loading...



Komentar


Berita Terkait